Rabu, 20 Mei 2020

Resensi Buku Rembulan Tenggelam Di Wajahmu karya Tere Liye

Dibalik Tatapan Bulan



Judul               : Rembulan Tenggelam di Wajahmu
Penulis            : Tere Liye
Penerbit           : Penerbit Republika
Tahun Terbit    : 2009
Halaman          : 1-425
Ukuran            : 20,5 x 13,5 cm
Tebal               : iv + 426 halaman
Harga              : Rp 60.000


Dari sekian banyak benda langit yang menakjubkan, Tere Liye memilih bulan atau lebih menyenangkan disebut rembulan. Karya penulis best-seller ini menceritakan perjalanan hidup seorang yatim-piatu bernama Reihan Raujana atau sering dipanggil Ray yang memiliki masa lalu rumit sekaligus menakjubkan. Buku ini diterbitkan pada awal tahun 2009 dan terus dicetak ulang hingga tahun ini 2018. Sangat disayangkan buku sebagus ini tidak banyak diketahui siswa. Namun melalui program literasi yang digalakan di sekolah saat ini, saya yakin buku ini akan terselip diantara banyaknya buku lain yang akan siswa – siswi baca.
            Buku ini diawali dengan pengenalan seorang gadis kecil bernama Rinai yang sedang bersedih merindukan kedua orang tua yang tidak pernah dia temui. Dia menangis, dan setiap tangisannya mengundang hujan. Pada bab ini pembaca belum dapat menyimpulkan cerita, karena hanya menyampaikan sepotong cerita menggantung mengenai gadis kecil. Cerita tokoh utama baru dimulai pada bab selanjutnya. Seorang Kakek tua berusia 60 tahun tengah terbaring sekarat di sebuah kamar VVIP. Pasien spesial pemegang kongsi dagang terbesar yang pernah ada hanya terbujur kaku selama 6 bulan disana, bertanya dan terus merutuk hidupnya selama ini sambil memandang rembulan. Ketika waktunya hampir habis, rembulan berbaik hati mengajaknya mengenang masa lalu dan menjawab 5 pertanyaan yang selama ini dia adukan pada rembulan.
            Pertama, Apakah kau memang tidak pernah memiliki kesempatan untuk memilih? Pertanyaan pertama terjawab dengan sederhana, seorang teman panti meninggal dengan ikhlas menanggung perbuatan orang yang sangat dia hormati. Sesungguhnya segala sesuatu sudah ditentukan dan tidak ada yang sia-sia dalam hidup. Karena bisa jadi ada garis kehidupan orang lain yang terpaut pada kita.
Kedua, Apakah hidup ini adil? Sepotong koran usang itu sumber permasalahannya. Sudah tentu jawabannya, “ya”. Para penjahat itu mendapatkan balasannya tanpa Ray ketahui, bisa dalam bentuk hukuman gantung maupun tancapan bambu di dadanya.
            Ray bukan anak nakal, hidupnya yang suram yang membuatnya seperti itu. Tinggal di panti yang buruk, menjalani hidup keras di terminal, bahkan terlibat dalam pencurian hebat. Masa lalu kelam itu dia jalani sambil menatap rembulan. Karena hanya dengan menatapnya maka dia akan merasa tenang. Dia percaya bahwa kehidupan itu indah dan sudah diatur. “Andaikata semua kehidupan ini menyakitkan, maka di luar sana pasti ada sepotong bagian yang menyenangkan.” (hal 424). “Pasti ada sesuatu yang jauh lebih indah dari menatap rembulan di langit.“ (hal 424).
            Bab ini istimewa bagi Ray. Bercerita tentang gadis pertama yang pernah membuatnya jatuh hati, gadis satu-satunya yang ia cintai dan nikahi, dan gadis yang lebih dulu meninggalkannya.
Ketiga, Kenapa langit tega sekali mengambil istrimu. Kenapa takdir menyakitkan itu harus terjadi? Tuhan memiliki tujuannya sendiri dengan menurunkan takdir kepada hamba-Nya. “Tuhan justru sedang mengirim seribu malaikat untuk menjemput istrimu di penghujungnya yang baik. Kau harus melihatnya dari sisi istrimu yang pergi, bukan dari sisimu yang ditinggalkan.“ (hal 316-317). Setelah kehilangan istrinya, Ray hanya merasa hampa.
Keempat, Ternyata setelah sejauh ini semuanya tetap terasa kosong, terasa hampa. Kenapa? Orang yang selama ini hanya mengejar dunia, maka dia tidak akan merasa puas. Padahal jawaban dari pertanyaan keempat ini sangatlah dekat, selalu menemani Ray setiap hari tanpa dia sadari sebelumnya. “Tapi aku tidak membutuhkan itu semua. Rumah besar, mobil, berlian. Bagiku kau ikhlas dengan semua yang kulakukan untukmu. Ridha atas perlakuanku padamu. Itu sudah cukup.“ (hal 382). Begitulah ucapan istrinya.
            Kelima, Kakek itu sakit selama 6 bulan, ginjalnya meradang dan terjadi banyak komplikasi pada tubuh tua itu. Kenapa kau harus mengalami sakit berkepanjangan? Kenapa takdir sakit itu mengungkungnya? Pertanyaan yang lagi-lagi terlontar dari mulut kakek itu. Sekali lagi ditekankan bahwa takdir telah ditentukan oleh Tuhan, dan tidak ada yang sia-sia dalam hidup ini. Bisa jadi kita bahagia karena sebelumnya ditimpa banyak kepedihan akibat orang lain, dan bisa jadi kita sakit bertidakkesudahan akibat merenggut kebahagiaan orang lain.
Ada yang menarik dari buku ini. Ketika membacanya pembaca akan merasa larut dalam cerita sang tokoh dan tidak menyadari kesamaan waktu di hampir setiap peristiwa. Hampir semua peristiwa penting di hidup Ray terjadi ketika malam takbiran. Selain itu angka enam juga telah diulang-ulang dalam pemakaian waktu cerita. Tere Liye seperti tengah menyampaikan sesuatu dengan angka 6 dan malam takbiran, namun kebanyakan pembaca tidak menyadari kesaamaan waktu tersebut. Selain itu kata “aku” di setiap judul bab menjadi poin menarik lainnya. “Aku” disini seperti menjelaskan isi bab tersebut secara personal dan membuat cerita lebih terlihat nyata. Kisah hidup seorang tokoh diatur secara acak namun tetap menarik. Pembaca dibuat penasaran dengan bab-bab yang dibacanya, terus menerka-nerka jalannya cerita walaupun akhirnya tidak tertebak juga. Cerita dalam buku ini juga mengandung banyak mengajarkan tentang arti hidup, menghadapi pahit-manis kehidupan, bersyukur, ikhas, dan kesederhanaan.
Alur maju-mundur yang dipakai sukses membuat cerita menjadi lebih hidup, sayangnya tidak sedikit pembaca yang kebingungan membaca buku ini akibat alurnya yang cepat berubah. Tokoh yang saling bersinggungan juga menjadi penyebab pembaca kebingungan, banyak dari mereka yang harus kembali membuka bab sebelumnya demi mencocokan cerita. Selain isi buku, tampilan buku pun tidak luput dari sorotan pembaca. Banyak orang beranggapan sampul bukunya tidak menarik dan tidak sesuai membuat pembaca enggan membaca buku ini. Sehingga bisa disimpulkan bahwa buku ini tidak banyak yang membaca. Selain itu, persepsi bahwa buku Tere Liye selalu menggunakan kalimat yang tinggi membuat orang-orang menganggap kata-katanya terlampau sulit dimengerti.
Buku ini memberikan banyak inspirasi dan motivasi kepada para pembacanya melalui rangkaian ceritanya. Membuat pembaca tidak menyesal telah membacanya dan enggan melewatkan setiap bagian dari ceritanya. Buku ini sangat bagus dan sangat direkomendasikan untuk dibaca oleh berbagai kalangan, mulai dari SMP, SMA, sampai dewasa. Banyak kata-kata Tere Liye yang menjadi tamparan bagi hati dan akal kita, membuat kita sadar dan mengerti berbagai peristiwa yang terjadi dalam kehidupan. Ray telah membuktikannya kepada pembaca betapa hidupnya yang kelam dan menyakitkan itu ternyata sempurna dan dia cintai. Jika hidup Ray saja begitu dia cintai, maka bagaimanakah dengan kehidupan kita? Jawabannya ada ditangan kita sendiri, ingin seperti apa hidup kita ini.


author : Alifiannisa Sukma Arini

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda